Rabu, 29 Juni 2016

Hukuman Mati menurut Hindu


Dok.Google.com

Menurut Bapak Q, Hukuman mati tidak disebutkan secara tegas/ pasti dalam kitab-kitab hukum Hindu. Dalam agama Hindu dikenal apa yang dinamakan ahimsa. Ahimsa merupakan suatu ajaran yang menentang tindak kekerasan dan dalam ajaran Hindu juga terdapat pemahaman bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibunuh dan kematian hanya dibatasi pada kematian fisik. Jiwa seseorang akan terlahir kembali ke dalam tubuh yang berbeda. Tinjauan dari ajaran Hindu yang menyerukan untuk tidak menggunakan hukuman mati tersebut. Salah satunya  tercantum dalam Kitab Santiparva dalam bab 257 yang menceritakan seorang pangeran yang menentang pembunuhan terhadap pelaku kejahatan yang senantiasa dilakukan oleh seorang Raja yang tidak lain adalah ayahnya sendiri.

Berikut isi dari percakapan tersebut:
Pangeran Satyavan: Terkadang kebajikan membuat kita mengetahui dosa dan dosa membuat kita mengetahui bentuk kebajikan. Dan tidak akan pernah mungkin membinasakan manusia dapat dianggap suatu perbuatan yang bijak.
Raja Dyumatsena: Apabila mengecualikan mereka yang harus dibunuh adalah bijak, apabila perampok dikecualikan, Satyavan, maka perbedaan antara kebajikan dan perbuatan dosa akan samar.
Pangeran Satyavan: Tidak dengan membinasakan seorang pelaku kejahatan, seorang Raja hendaknya menghukum dia sebagai seseorang yang ditakdirkan berdasarkan Kitab. Seorang Raja hendaknya tidak berbuat sebaliknya, mengabaikan moral untuk merendahkan martabat pelaku kejahatan. Dengan membunuh seorang pelanggar, Raja membunuh banyak orang tidak berdosa. Dengan membunuh seorang perampok tunggal, istri, ibu, bapa dan anak yang bersangkutan semuanya ikut terbunuh. Ketika dirugikan oleh seorang pelaku kejahatan, Raja oleh karenanya harus merenungkan persoalan penghukuman. Terkadang orang jahat terlihat meniru kebaikan dari orang baik. Hal tersebut mencerminkan anak yang baik berasal dari keturunan orang jahat. Maka dari itu sebaiknya orang jahat tidak dimusnahkan. Pemusnahan seorang jahat tidak sesuai dengan hukum keabadian dalam agama Hindu.
Isi dari percakapan Raja Dyumatsena dan Pangeran Satyavan inilah yang sering digunakan sebagai salah satu dasar dalam menentang hukuman mati oleh umat Hindu.
Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-XI (Atha Ekadaso dhyayah) bentuk-bentuk kesalahan/ kejahatan digolongkan pada upa-pataka (kesalahan/ kejahatan kecil) dan maha-pataka (kesalahan/ kejahatan besar). Kesalahan/ kejahatan itu harus “ditebus” dengan prayascita.
Yang dimaksud dengan prayascita adalah pensucian kembali roh/ atman, tidak hanya dengan upacara saja, tetapi juga dengan tapa-brata-yoga-samadhi, dan menjalani hukuman atas dasar kesadaran, dan pengakuan, serta terbukti sah telah berbuat kesalahan/ kejahatan.
Hanya pasal 74 yang sedikit mengkiaskan “hukuman mati” sebagai berikut:
Laksyam Sastrabhritam Wa,
Syadwidusamischayatmanah,
Prasyedatmanamagnan Wa,
Samiddhe Trirawaksarah
Artinya:
Atau biarkan menurut kemauannya sendiri perlahan-lahan (suntik mati), menjadi sasaran panah (hukum tembak) dari para pemanah (eksekutor) yang mengetahui tujuan itu (yang bertugas) atau ia boleh terjun jungkir balik ke unggun api (kursi listrik?, kamar gas?)
Istilah: “salah pati” dan “ngulah pati” hanya ada dalam tradisi beragama Hindu di Bali. Oleh karena itu penetapannya tergantung dari kebijaksanaan dan anumana pramana Sulinggih yang “muput” upacara pitra yadnya itu.
Menurut pendapat Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, hukuman mati bagi seorang pemeluk Hindu-Bali, termasuk “ngulah pati”, karena dia sudah tahu sebelumnya bahwa perbuatannya jahat; jika kemudian terbukti bersalah akan mendapat sanksi hukuman mati dari Pengadilan. Masalah roh/ atman dari orang yang dihukum mati, apakah akan amoring acintya (moksah) ataukah akan lahir kembali ke dunia (re-inkarnasi/ punarbhawa), tentunya kita tidak tahu karena masalah itu termasuk astaaiswarya “kehendak” Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa. Namun perlu diingat bahwa hukuman mati yang diputuskan oleh “manusia” karena dipandang “bersalah”, belum tentu dalam pertimbangan Sanghyang Widhi dia juga dianggap “bersalah”. Misalnya para korban kemelut politik, huru-hara, dll.

HUKUMAN MATI DALAM MAHABHARATA (Kisah Shri Krisnha Memenggal Kepala Sisupala)
Dok. Google.com
Sisupala merupakan putra Damagosa dan Srutasrawa dari kerajaan Chedi, kerabat Vasudewa, sepupu Shri Kresna. Kitab Bhagawatapurana menjelaskan bahwa Sisupala merupakan penitisan dari Jaya dan Wijaya, penjaga gerbang Waikuntha, kahyangan dewa Wisnu.
Menurut kitab Mahabharata, Sisupala lahir dengan tiga mata dan empat lengan. Orangtuanya berniat untuk membuangnya, namun sabda dari langit mencegah mereka untuk melakukan hal tersebut sebab Sisupala ditakdirkan untuk hidup sampai dewasa. Sabda tersebut mengatakan bahwa tubuh Sisupala dapat menjadi normal jika dipangku oleh seseorang yang istimewa, yaitu seorang titisan Wisnu, dan kematian Sisupala juga berada di tangan orang yang sama.
Ketika keluarga Basudewa menjenguk Srutasrawa, Kresna turut hadir. Saat Kresna memangku Sisupala, mata dan lengan tambahan di tubuh Sisupala langsung menghilang. Mengetahui hal tersebut, orangtua Sisupala sadar bahwa kematian Sisupala juga berada di tangan Kresna. Mereka memohon agar Kresna mau bersabar dan mengampuni kesalahan yang diperbuat Sisupala apabila anak tersebut sudah dewasa. Kresna berjanji bahwa ia akan menahan kemarahannya. Ia menambahkan, apabila Sisupala sudah menghinanya lebih dari 100 kali, dan penghinaan itu dilakukan di hadapan orang banyak, maka Kresna berjanji bahwa ia tidak akan segan untuk membunuh Sisupala.
Setelah Jarasanda dari Magadha dibunuh oleh Bima dalam sebuah pertarungan, kerajaan Magadha tunduk pada kerajaan Kuru. Untuk menegakkan dharma di daratan Bharatawarsha, Yudistira dari Indraprastha menyelenggarakan upacara Rajasuya. Para raja dari kerajaan di penjuru Bharatawarsha menghadiri aula Indraprastha, termasuk Sisupala dari Chedi. Ketika Yudistira bingung memutuskan siapa yang akan menerima hadiah terlebih dulu, Bisma—kakek Yudistira yang merupakan sesepuh Dinasti Kuru—berkata bahwa Kresna paling layak mendapatkannya. Mengetahui hal tersebut, Sisupala menjadi dengki lalu menghina Kresna bertubi-tubi.
Sambil menghina Kresna, Sisupala menantangnya untuk bertarung. Karena Sisupala telah menghina Kresna bertubi-tubi dan dilakukan di hadapan banyak orang, maka Kresna memenuhi tantangan Sisupala. Dalam pertempuran, Sisupala tidak berhasil melukai Kresna. Sebaliknya, Kresna menebas leher Sisupala dengan Cakra Sudarsana. [dikutip dari wikipedia].
Setelah Sisupala terbunuh, salah satu peserta sidang protes, dia menyatakan bahwa seseorang tidak boleh memberikan hukuman melampui atau melebihi dari perbuatan yang dilakukan seseorang, dan tidak boleh menjatuhkan hukuman sebelum raja yang memberikan hukuman. Sri Kresna menanggapi bahwa hukuman bagi seseorang sebagai pembersih racun bagi diri sang pendosa (penebus dosa pelaku kejahatan). Dengan hukuman, pelaku kejahatan dapat dihentikan dari perbuatan kejahatan (dosa) berulang-ulang. Dan Sri Kresna memenggal kepala Sisupala setelah Maharaja Yudistira menjatuhkan hukuman mati, sehingga Sri Kresna dikatakan tidak melanggar dharma (hukum).
Hukuman mati, saat ini dianggap melanggar ham, terutama hak untuk hidup. Namun bila kita tinaju dari sudut pandang yang lain makalogika ini sangat fatal. Seseorang yang telah melakukan perampasan terhadap hak-hak seseorang maka pelaku kejahatan pun harus dirampas haknya. Misalnya, seorang pembunuh harus dihukum mati, karena telah merampas hak hidup seseorang. Pemahaman lebih dalam lagi, tanpa memberikan hukuman yang setimpal terhadap pelaku kejahatan, akibatnya roh pelaku kejahatan akan tersiksa di neraka untuk menebus dosanya, dan akan dilahirkan kembali ke dunia sebagai mahkluk menderita, dan besar kemungkinan akan melakukan kejahatan berulang yang lebih kejam [jika tidak bertobat setelah menjelma]. Akan tetapi, dengan hukuman yang setimpal, roh dari pelaku kejahatan dibersihkan dari dosanya, dan masuk surga dan dilahirkan kembali menjadi mahkluk yang lebih beradab, lebih baik dari kehidupan sebelumnya.
Jika kita cermati, pandangan hukuman mati sebagai pelanggaran ham akan menjadi benar jika hanya melihat dari sisi hukum duniawi (hukum modern), sebaliknya menjadi bukan kebenaran jika dilihat dari sudut pandang hukum agama yang meyakini adanya kehidupan setelah kematian (surga-neraka).
Dengan kata lain, hukuman mati sebenarnya masih relevan diterapkan, terlebih lagi masyarakat Hindu meyakini hukum karma. Dalam ajaran Veda, hukuman dikatakan sebagai penebus dosa. Pelaku kejahatan kelas berat, terutama pembunuh dihukum dengan dibunuh maka atmanya terbebas dari dosa. Sedangkan apabila pembunuh tidak dihukum mati maka pembunuh ini akan menjelma, dan kelak akan mati terbunuh (demikian terjadi terus berulang kali). Dalam hukum Islam pembalasan seperti itu (misalnya pembunuh dengan dibunuh) disebut Qisas.
Ada yang berlogika, bahwa jika seseorang dihukum mati maka yang menghukum mati akan dibunuh pada penjelmaan berikutnya karena telah melakukan perbuatan membunuh. Ini logika yang fatal. Menurut ajaran Hindu, jika seseorang melakukan perbuatan atas nama, misalnya atas nama negara, seseorang tidak berdosa, inilah perbuatan yang dikatakan “berbuat sebagai tidak berbuat” dan dalam hukum modern pun dikenal asas seperti itu.  
Terkait hukuman mati, kejahatan yang pantas dipidana mati dalam pandangan hukum Hindu adalah orang yang melakukan perbuatan kejam atau kejahatan kelas berat. Merujuk pada kisah Mahbharata tersebut, seseorang yang dapat dipidana mati adalah orang yang melakukan perbuatan dosa atau kejahatan berulang-ulang (residivis).
Ada enam kejahatan yang digolongkan kedalam perbuatan kejam, yang disebut sad atatayi. Kitab Slokantara menyebutkan “Orang yang membakar rumah, suka meracuni, dukun jahat, pembunuh, pemerkosa perempuan, penghianat, keenam ini dimasukan dalam golongan “Atatayi”. {Slokantara 71 (32)}.
“….Keenam pekerjaan ini jangan dilakukan oleh manusia waras, karena sudah pasti perbuatan seperti itu akan menyeretnya ke lembah neraka dan akan dianiaya berat oleh Dewa Yama. Jika ia hidup, ia akan disakiti dan disiksa oleh budak-budaknya sendiri. Demikian kata kitab suci. Setelah mereka dimasak hidup-hidup dalam api neraka, mereka akan diserahkan ke permukaan bumi ini seperti menyerahkan serabut remuk. Akhirnya mereka akan bertebaran disana-sini. Mereka yang bersifat dan berlaksana demikian adalah kelahiran neraka” Terjemahan Bahasa Jawa Kuno (Slokantara Halaman 235).
Dalam kitab Kutara Manawa Agama (Kitab Perundang-undangan Majapahit), ada tiga jenis kejahatan dari delapan jenis kejahatan (asta dusta) yang jika dilakukan seseorang dapat dipidana mati.
Perincian astadusta dalam kitab “Kutaramanawa Agama” (disertasi Dr. Jonker) yang berbunyi:
Yang masuk kedalam astadusta dikatakan : orang yang membunuh orang tak berdosa, menyuruh membunuh orang tanpa dosa, melukai orang tanpa dosa, makan bersama-sama dengan pembunuh, sehilir semudik dengan pembunuh, berkawan dengan pembunuh, memberi tempat perlindungan kepada pembunuh, menolong pembunuh.
Selanjutnya dinyatakan:
“Itulah semuanya astadusta. Yang tiga dosa jiwa, yang lima dosa harta. Membunuh orang tanpa dosa, menyuruh membunuh orang tanpa dosa, melukai parah orang tanpa dosa, itu semuanya tiga dosa. Jika dosanya terbukti ketiga-tiganya, orangnya harus dihukum mati karena ketiganya itu dosa yang harus dibayar dengan jiwa”.

Hukuman mati bukan hanya sebatas untuk memuaskan hati masyarakat yang merasa dirugikan, lebih dari itu hukuman mati adalah sebagai penebus dosa akibat perbuatannya, sehingga ia bebas dari reaksi dosa, “… orang-orang yang telah melakukan pidana dan telah pula dihukum oleh raja akan pergi ke surga karena telah bersih seperti halnya mereka yang telah melakukan perbuatan yang bajik (Manawa Dharmasastra VIII.318)

Sumber : wisdanarananda.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar