Dok.Google.com |
Menurut Bapak Q, Hukuman mati tidak
disebutkan secara tegas/ pasti dalam kitab-kitab hukum Hindu. Dalam agama Hindu
dikenal apa yang dinamakan ahimsa. Ahimsa
merupakan suatu ajaran yang menentang tindak kekerasan dan dalam ajaran Hindu
juga terdapat pemahaman bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibunuh dan kematian
hanya dibatasi pada kematian fisik. Jiwa seseorang akan terlahir kembali ke
dalam tubuh yang berbeda. Tinjauan dari ajaran Hindu yang menyerukan untuk tidak
menggunakan hukuman mati tersebut. Salah satunya tercantum dalam Kitab
Santiparva dalam bab 257 yang menceritakan seorang pangeran yang menentang
pembunuhan terhadap pelaku kejahatan yang senantiasa dilakukan oleh seorang
Raja yang tidak lain adalah ayahnya sendiri.
Berikut isi dari percakapan tersebut:
Pangeran Satyavan: Terkadang kebajikan membuat kita mengetahui dosa dan
dosa membuat kita mengetahui bentuk kebajikan. Dan tidak akan pernah mungkin
membinasakan manusia dapat dianggap suatu perbuatan yang bijak.
Raja Dyumatsena: Apabila mengecualikan mereka yang harus dibunuh adalah
bijak, apabila perampok dikecualikan, Satyavan, maka perbedaan antara kebajikan
dan perbuatan dosa akan samar.
Pangeran Satyavan: Tidak dengan membinasakan seorang pelaku kejahatan,
seorang Raja hendaknya menghukum dia sebagai seseorang yang ditakdirkan
berdasarkan Kitab. Seorang Raja hendaknya tidak berbuat sebaliknya, mengabaikan
moral untuk merendahkan martabat pelaku kejahatan. Dengan membunuh seorang
pelanggar, Raja membunuh banyak orang tidak berdosa. Dengan membunuh seorang
perampok tunggal, istri, ibu, bapa dan anak yang bersangkutan semuanya ikut
terbunuh. Ketika dirugikan oleh seorang pelaku kejahatan, Raja oleh karenanya
harus merenungkan persoalan penghukuman. Terkadang orang jahat terlihat meniru
kebaikan dari orang baik. Hal tersebut mencerminkan anak yang baik berasal dari
keturunan orang jahat. Maka dari itu sebaiknya orang jahat tidak dimusnahkan.
Pemusnahan seorang jahat tidak sesuai dengan hukum keabadian dalam agama Hindu.
Isi dari percakapan Raja Dyumatsena dan Pangeran Satyavan inilah yang
sering digunakan sebagai salah satu dasar dalam menentang hukuman mati oleh
umat Hindu.
Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-XI
(Atha Ekadaso dhyayah) bentuk-bentuk kesalahan/ kejahatan digolongkan pada
upa-pataka (kesalahan/ kejahatan kecil) dan maha-pataka (kesalahan/ kejahatan
besar). Kesalahan/ kejahatan itu harus “ditebus” dengan prayascita.
Yang dimaksud dengan prayascita
adalah pensucian kembali roh/ atman, tidak hanya dengan upacara saja, tetapi
juga dengan tapa-brata-yoga-samadhi, dan menjalani hukuman atas dasar
kesadaran, dan pengakuan, serta terbukti sah telah berbuat kesalahan/
kejahatan.
Hanya pasal 74 yang sedikit
mengkiaskan “hukuman mati” sebagai berikut:
Laksyam Sastrabhritam Wa,
Syadwidusamischayatmanah,
Prasyedatmanamagnan Wa,
Samiddhe Trirawaksarah
Artinya:
Atau
biarkan menurut kemauannya sendiri perlahan-lahan (suntik mati), menjadi
sasaran panah (hukum tembak) dari para pemanah (eksekutor) yang mengetahui
tujuan itu (yang bertugas) atau ia boleh terjun jungkir balik ke unggun api
(kursi listrik?, kamar gas?)
Istilah: “salah pati” dan “ngulah
pati” hanya ada dalam tradisi beragama Hindu di Bali. Oleh karena itu
penetapannya tergantung dari kebijaksanaan dan anumana pramana Sulinggih yang
“muput” upacara pitra yadnya itu.
Menurut pendapat Ida Pandita Nabe
Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, hukuman mati bagi
seorang pemeluk Hindu-Bali, termasuk “ngulah pati”, karena dia sudah tahu
sebelumnya bahwa perbuatannya jahat; jika kemudian terbukti bersalah akan
mendapat sanksi hukuman mati dari Pengadilan. Masalah roh/ atman dari orang
yang dihukum mati, apakah akan amoring acintya (moksah) ataukah akan lahir
kembali ke dunia (re-inkarnasi/ punarbhawa), tentunya kita tidak tahu karena
masalah itu termasuk astaaiswarya “kehendak” Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa.
Namun perlu diingat bahwa hukuman mati yang diputuskan oleh “manusia” karena
dipandang “bersalah”, belum tentu dalam pertimbangan Sanghyang Widhi dia juga
dianggap “bersalah”. Misalnya para korban kemelut politik, huru-hara, dll.
HUKUMAN MATI DALAM MAHABHARATA (Kisah Shri Krisnha Memenggal Kepala Sisupala)
Dok. Google.com |
Sisupala merupakan
putra Damagosa dan Srutasrawa dari kerajaan Chedi, kerabat Vasudewa, sepupu
Shri Kresna. Kitab Bhagawatapurana menjelaskan bahwa Sisupala
merupakan penitisan dari Jaya dan Wijaya, penjaga gerbang Waikuntha, kahyangan
dewa Wisnu.
Menurut
kitab Mahabharata, Sisupala lahir dengan tiga mata dan empat
lengan. Orangtuanya berniat untuk membuangnya, namun sabda dari langit mencegah
mereka untuk melakukan hal tersebut sebab Sisupala ditakdirkan untuk hidup
sampai dewasa. Sabda tersebut mengatakan bahwa tubuh Sisupala dapat menjadi
normal jika dipangku oleh seseorang yang istimewa, yaitu seorang titisan Wisnu,
dan kematian Sisupala juga berada di tangan orang yang sama.
Ketika
keluarga Basudewa menjenguk Srutasrawa, Kresna turut hadir. Saat Kresna
memangku Sisupala, mata dan lengan tambahan di tubuh Sisupala langsung menghilang.
Mengetahui hal tersebut, orangtua Sisupala sadar bahwa kematian Sisupala juga
berada di tangan Kresna. Mereka memohon agar Kresna mau bersabar dan mengampuni
kesalahan yang diperbuat Sisupala apabila anak tersebut sudah dewasa. Kresna
berjanji bahwa ia akan menahan kemarahannya. Ia menambahkan, apabila Sisupala
sudah menghinanya lebih dari 100 kali, dan penghinaan itu dilakukan di hadapan
orang banyak, maka Kresna berjanji bahwa ia tidak akan segan untuk membunuh
Sisupala.
Setelah
Jarasanda dari Magadha dibunuh oleh Bima dalam sebuah pertarungan, kerajaan
Magadha tunduk pada kerajaan Kuru. Untuk menegakkan dharma di daratan
Bharatawarsha, Yudistira dari Indraprastha menyelenggarakan upacara Rajasuya.
Para raja dari kerajaan di penjuru Bharatawarsha menghadiri aula Indraprastha,
termasuk Sisupala dari Chedi. Ketika Yudistira bingung memutuskan siapa yang
akan menerima hadiah terlebih dulu, Bisma—kakek Yudistira yang merupakan
sesepuh Dinasti Kuru—berkata bahwa Kresna paling layak mendapatkannya. Mengetahui
hal tersebut, Sisupala menjadi dengki lalu menghina Kresna bertubi-tubi.
Sambil
menghina Kresna, Sisupala menantangnya untuk bertarung. Karena Sisupala telah
menghina Kresna bertubi-tubi dan dilakukan di hadapan banyak orang, maka Kresna
memenuhi tantangan Sisupala. Dalam pertempuran, Sisupala tidak berhasil melukai
Kresna. Sebaliknya, Kresna menebas leher Sisupala dengan Cakra Sudarsana.
[dikutip dari wikipedia].
Setelah
Sisupala terbunuh, salah satu peserta sidang protes, dia menyatakan bahwa seseorang
tidak boleh memberikan hukuman melampui atau melebihi dari perbuatan yang
dilakukan seseorang, dan tidak boleh menjatuhkan hukuman sebelum raja yang
memberikan hukuman. Sri Kresna menanggapi bahwa hukuman bagi seseorang
sebagai pembersih racun bagi diri sang pendosa (penebus dosa pelaku kejahatan).
Dengan hukuman, pelaku kejahatan dapat dihentikan dari perbuatan kejahatan
(dosa) berulang-ulang. Dan Sri Kresna memenggal kepala Sisupala setelah
Maharaja Yudistira menjatuhkan hukuman mati, sehingga Sri Kresna dikatakan
tidak melanggar dharma (hukum).
Hukuman
mati, saat ini dianggap melanggar ham, terutama hak untuk hidup. Namun bila
kita tinaju dari sudut pandang yang lain makalogika ini sangat fatal. Seseorang
yang telah melakukan perampasan terhadap hak-hak seseorang maka pelaku
kejahatan pun harus dirampas haknya. Misalnya, seorang pembunuh harus dihukum
mati, karena telah merampas hak hidup seseorang. Pemahaman lebih dalam lagi,
tanpa memberikan hukuman yang setimpal terhadap pelaku kejahatan, akibatnya roh
pelaku kejahatan akan tersiksa di neraka untuk menebus dosanya, dan akan
dilahirkan kembali ke dunia sebagai mahkluk menderita, dan besar kemungkinan
akan melakukan kejahatan berulang yang lebih kejam [jika tidak bertobat setelah
menjelma]. Akan tetapi, dengan hukuman yang setimpal, roh dari pelaku
kejahatan dibersihkan dari dosanya, dan masuk surga dan dilahirkan kembali
menjadi mahkluk yang lebih beradab, lebih baik dari kehidupan sebelumnya.
Jika
kita cermati, pandangan hukuman mati sebagai pelanggaran ham akan menjadi benar
jika hanya melihat dari sisi hukum duniawi (hukum modern), sebaliknya menjadi
bukan kebenaran jika dilihat dari sudut pandang hukum agama yang meyakini
adanya kehidupan setelah kematian (surga-neraka).
Dengan
kata lain, hukuman mati sebenarnya masih relevan diterapkan, terlebih lagi
masyarakat Hindu meyakini hukum karma. Dalam ajaran Veda, hukuman dikatakan
sebagai penebus dosa. Pelaku kejahatan kelas berat, terutama pembunuh dihukum
dengan dibunuh maka atmanya terbebas dari dosa. Sedangkan apabila
pembunuh tidak dihukum mati maka pembunuh ini akan menjelma, dan kelak akan
mati terbunuh (demikian terjadi terus berulang kali). Dalam hukum Islam
pembalasan seperti itu (misalnya pembunuh dengan dibunuh) disebut Qisas.
Ada
yang berlogika, bahwa jika seseorang dihukum mati maka yang menghukum mati akan
dibunuh pada penjelmaan berikutnya karena telah melakukan perbuatan membunuh.
Ini logika yang fatal. Menurut ajaran Hindu, jika seseorang melakukan perbuatan
atas nama, misalnya atas nama negara, seseorang tidak berdosa, inilah perbuatan
yang dikatakan “berbuat sebagai tidak berbuat” dan dalam hukum modern pun
dikenal asas seperti itu.
Terkait
hukuman mati, kejahatan yang pantas dipidana mati dalam pandangan hukum Hindu
adalah orang yang melakukan perbuatan kejam atau kejahatan kelas berat. Merujuk
pada kisah Mahbharata tersebut, seseorang yang dapat dipidana mati adalah orang
yang melakukan perbuatan dosa atau kejahatan berulang-ulang (residivis).
Ada
enam kejahatan yang digolongkan kedalam perbuatan kejam, yang disebut sad
atatayi. Kitab Slokantara menyebutkan “Orang yang membakar rumah, suka
meracuni, dukun jahat, pembunuh, pemerkosa perempuan, penghianat, keenam ini
dimasukan dalam golongan “Atatayi”. {Slokantara 71 (32)}.
“….Keenam pekerjaan ini jangan
dilakukan oleh manusia waras, karena sudah pasti perbuatan seperti itu akan
menyeretnya ke lembah neraka dan akan dianiaya berat oleh Dewa Yama. Jika ia
hidup, ia akan disakiti dan disiksa oleh budak-budaknya sendiri. Demikian kata
kitab suci. Setelah mereka dimasak hidup-hidup dalam api neraka, mereka akan
diserahkan ke permukaan bumi ini seperti menyerahkan serabut remuk. Akhirnya
mereka akan bertebaran disana-sini. Mereka yang bersifat dan berlaksana
demikian adalah kelahiran neraka” Terjemahan Bahasa Jawa Kuno (Slokantara
Halaman 235).
Dalam
kitab Kutara Manawa Agama (Kitab Perundang-undangan Majapahit), ada tiga jenis
kejahatan dari delapan jenis kejahatan (asta dusta) yang jika dilakukan
seseorang dapat dipidana mati.
Perincian
astadusta dalam kitab “Kutaramanawa Agama” (disertasi Dr. Jonker) yang
berbunyi:
Yang masuk kedalam astadusta dikatakan : orang yang membunuh
orang tak berdosa, menyuruh membunuh orang tanpa dosa, melukai orang tanpa
dosa, makan bersama-sama dengan pembunuh, sehilir semudik dengan pembunuh,
berkawan dengan pembunuh, memberi tempat perlindungan kepada pembunuh, menolong
pembunuh.
Selanjutnya dinyatakan:
“Itulah semuanya astadusta. Yang tiga dosa jiwa, yang lima
dosa harta. Membunuh orang tanpa dosa, menyuruh membunuh orang tanpa dosa,
melukai parah orang tanpa dosa, itu semuanya tiga dosa. Jika dosanya terbukti
ketiga-tiganya, orangnya harus dihukum mati karena ketiganya itu dosa yang
harus dibayar dengan jiwa”.
Hukuman
mati bukan hanya sebatas untuk memuaskan hati masyarakat yang merasa dirugikan,
lebih dari itu hukuman mati adalah sebagai penebus dosa akibat perbuatannya,
sehingga ia bebas dari reaksi dosa, “… orang-orang yang telah melakukan pidana
dan telah pula dihukum oleh raja akan pergi ke surga karena telah bersih
seperti halnya mereka yang telah melakukan perbuatan yang bajik (Manawa
Dharmasastra VIII.318)
Sumber : wisdanarananda.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar