Hari raya Saraswati merupakan hari
anugerah. Menurut Bhagawad Gita, saat yang paling baik untuk menerima
anugerah yakni pada pagi hari. Selain itu, secara psikologis, pagi
hari memang menjadi saat yang sangat bagus untuk menghaturkan sembah. Pasalnya,
di pagi hari suasana masih hening, lahir batin pun masih bening. Keheningan dan
kebeningan hati merupakan jembatan emas untuk menghadap Yang Kuasa. Pikiran
menjadi lebih mantap dan bercahaya.
Sampai di sini, dapat dimaklumi
mengapa kemudian para sulinggih, orang-orang suci memilih waktu pagi hari untuk
memuja kebesaran Hyang Widhi lewat ritual nyurwa sewana. Kehadiran sinar
pertama sang surya membuat pintu hati dan mata batin terbuka. Keterbukaan pintu
hati dan mata batin menjadikan relasi personal Sang Diri dengan Sang Muasal
kian lekat, makin dekat.
Dari segi kesehatan, pagi hari pun
dipandang sangat baik bagi tubuh. Sinar mentari pagi mengandung vitamin D yang
bermanfaat bagi penguatan tubuh. Manakala sore hari, umumnya orang
sudah mulai agak lesu, tiada cerah lagi. Apalagi jika sejak pagi tadi terhimpit
beban pekerjaan yang berat. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja terasa kurang
mantap menghaturkan sembah, menghadap Hyang Tunggal.
Karena itu pula, manusia Bali kerap
memilih waktu setelah matahari condong ke barat (seng kauh) untuk
melaksanakan upacara pitra yadnya seperti ngaben, mengubur
jenazah atau pun bhuta yadnya seperti mecaru. Berbeda dengan
upacara mamukur atau nyekah yang dilaksanakan pada permulaan hari.
Meski begitu, penilaian bahwa pagi
hari sebagai waktu yang paling baik tidak lantas berarti umat tidak perlu
bersembahyang saat siang dan sore atau malam hari. Umat tetap dianjurkan untuk
menandai peralihan hari itu dengan memuja Tuhan. Karenanya, Hindu menganjurkan
agar bersembahyang tiga kali sehari.
Sumber : www.balisaja.com/2013/08/persembahyangan-saraswati.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar